11 Oktober 2007

Makar

Disclaimer: Tulisan ini bukan bahan provokasi, hanya sekedar belajar menulis fiksi aja. Kalau ternyata justru memprovoke Anda untuk berpindah menjadi pengguna dan sekaligus penganjur opensource software, ya alhamdulillah.
----
Diam-diam, gerak geriknya kuperhatikan selama beberapa hari ini. Ada yang agak aneh dari anak ini. Biasanya periang dan cepat tanggap kalau dimintai tolong. Meski super sibuk, dia pasti sigap membantu. Beberapa hari ini kesannya agak misterius. Muka ditekuk, mata memerah, menjadi lebih pendiam dan lebih pemarah dari biasanya. ”Jonnn, Jono!” tiba-tiba Agung terdengar berteriak memanggil anak ini. Meski dari ruangan yang berjarak 10 meteran dengan suasana yang hiruk pikuk karena ada workshop di ruang terbuka yang ada di bagian belakang kantor kami, teriakan itu terdengar cukup keras. Tidak biasanya dia berteriak. Pasti ada yang tidak beres. ”Apa Kang? Aku di ruang depan!” Jono balas berteriak. Kedengaran kalau dia berada di salah satu ruang yang agak jauh dari ruangannya Agung. Entah di ruang depan yang mana. Ada banyak ruangan depan di kantor ini. Namun kulihat batang hidungnya tidak nampak juga menuju ruang Agung. ”Jonnnn, gimana sih! Ke sini lho! Dipanggil kok ndak ke sini. Apa harus dijemput? Kalau dipanggil, pasti khan terkait tugasmu!” teriak Agung marah-marah. Agung biasanya memang bertensi agak tinggi. Sudah itu tidak sabaran pula. Kalau tidak terbiasa dengannya, orang pasti akan tersinggung. Namun kalau sudah kenal sifat aslinya, pasti akan menjadi teman setia. Brakkk. Tiba-tiba di ruang administrasi, ruang di bagian depan kantor, hiruk pikuk. Kedengaran ada barang yang jatuh atau dibanting. ”Ehhh, sabar dong Jon. Pelan-pelan kenapa sih?” terdengar suara Niken. ”Biar aja. Jengkel aku. Di sini baru ada kerjaan bikin pusing. Eh Kang Agung sudah teriak-teriak semaunya!” ujar Jono dengan sengitnya. ”Ya, coba ke sana dulu dilihat. Kang Agung itu, kalau sewotnya kayak gitu, pasti punya masalah besar,” bujuk Niken lagi dengan suara lembut. Niken memang terkenal pembujuk. Itu makanya dia cocok dan dipercaya untuk menjabat sebagai public relation officer. ”Kalau Kang Agung panggil kamu, artinya butuh bantuanmu. Itu artinya kamu dianggap penting khan?” elus Niken lagi. ”Ahhhhh, Mbak Niken sami mawon,” ujar Jono. Dan kulihat akhirnya Jono muncul juga batang hidungnya, berjalan layaknya terbang ke ruangannya Agung di sayap Barat kantor. Wajahnya nampak kuyu dengan rambut gondrong melewati bahu. Di tangan kanannya nampak membawa tas peralatan, sedangkan di ketiak kirinya nampak ada tempat CD ROM. Jono memang teknisi di kantor kami. Dia dikontrak paruh waktu untuk melakukan perawatan komputer dan jaringan komputer lokal. Meski di kantor kami banyak orang yang cukup ahli menggunakan beberapa program komputer, namun untuk urusan perangkat keras dan jaringan komputer, tiada yang seahli Jono. Biasanya, setiap hari Jono datang untuk melakukan pengecekan dan perawatan. Setidaknya dua jam setiap hari. Selepas itu dia mengurusi bisnisnya yang lain, utamanya warung internet yang ada di sebelah Barat kampus STIKS. Tiba-tiba HP ku berbunyi, nada SMS masuk. Segera kubuka pesan yang masuk. Ternyata dari kolegaku yang meminta aku ke kantornya segera. Ada masalah besar katanya, tanpa menyebutkan dengan jelas. Segera bergegas aku menyiapkan diri untuk keluar kantor. Dan itu hari terakhir aku melihat Jono. Dua minggu berikutnya aku ada kegiatan di luar kota. Bos memerintahkan agar aku menangani beberapa pelatihan untuk kolega di luar Jawa. Beginilah kalau mau jadi pelatih, harus selalu siap diterjunkan untuk segala urusan latih melatih. Kapan saja di mana saja. Kantor kami kebetulan memang bergiat dalam pengembangan sumberdaya manusia dan organisasi. Kembali ke kantor dua minggu sesudah itu, setelah lapor ke Bos, seperti biasanya aku harus lapor ke Niken untuk membahas apa yang sudah kulakukan di luar Jawa selama ini. Selain itu aku juga menerima masukan dari Niken tentang perkembangan kantor terkini selama kutinggal. Siapa tahu ada kolega yang komplain atau butuh sesuatu dariku. Setelah selesai diskusi dengan Niken, aku kembali ke ruanganku. Melangkah masuk ke dalam ruangan, segera kulihat Jono terduduk di salah satu kursi depan meja kerjaku. Pasti ada masalah tebakku. Biasanya Jono kalau ada masalah berat pasti akan datang ke ruanganku untuk sekadar melepas uneg-uneg. ”Ngapain Jon?” ujarku sambil menepuk bahunya. ”Ahh, mau minta masukan Om,” jawabnya singkat. Dia memang biasa memanggilku Om. Entah apa maksudnya. Bisa karena aku dianggap lebih tua atau mungkin karena wajahku memang agak bertipe Oriental. ”Apaan sih? Serius amat?” tanyaku lagi. ”Menurut Om bagaimana kalau aku melakukan makar?” tanyanya sambil memandangku tanpa berkedip. ”Yang bener kamu Jon! Jangan sembarangan kamu. Terpengaruh siapa kamu?” tanyaku penuh keheranan. Darimana anak ini bisa memunculkan kata makar dari lidahnya. Setahuku dia bukan aktivis dan bukan pula orang politik. ”Tidak terpengaruh siapa-siapa. Penguasa itu lama-lama menjadi semau-maunya. Mereka tidak lagi melihat situasi masyarakat. Asal tidak menguntungkannya, orang kecil pasti disikat. Habis. Tanpa pandang bulu!” ujarnya berapi-api. ”Sebentar Jon, sabar dulu, dipikir dengan matang dan jangan emosional begitu,” bujukku dengan penuh tanda tanya. ”Tekadku sudah bulat Om. Aku tidak mau diperlakukan semena-mena lagi. Kesabaranku sudah habis. Aku rugi banyak, teman-temanku juga. Om juga rugi tapi malah ndak merasa!” selanya dengan nada meninggi. “Loh ... loh ... ada apa pula ini? Kok aku disangkut-sangkutkan?” tanyaku lagi. “Kita dulu diajari begini, begitu. Didikte begini, begitu. Setelah kita sudah terbiasa, sekarang malah diuber-uber, mau dibunuh pula!” sengitnya lagi. “Kita harus bertindak. Kita harus berontak. Penguasa ini sudah terlalu lama berkuasa. Semakin lama semakin tidak bener!” “Tidak bener bagaimana sih. Kamu sendiri yang ndak bener, ndak punya otak. Memangnya kamu punya pendukung?” ejekku. “Jangan salah Om. Begini-begini pendukungnya banyak. Di dalam negeri sudah banyak pendukungnya, apalagi luar negeri, dunia internasional sudah jelas sikapnya!” bantahnya lagi. “Kekuasaan mereka sudah keterlaluan, sudah terlalu lama. Harus diakhir atau dihambat.” “Jon, siapa sih yang terlalu lama berkuasa? Khan Pemilu baru tahun lalu!” bantahku dengan nada tinggi. “Eh .. sorry Om .. sorry. Maksudku bukan berontak pada pemerintah. Yang kumaksud dari tadi adalah berontak pada penguasa sistem operasi komputer. Itu tuh Si Om Bill!” sanggahnya cepat. “Sial kamu Jon. Maksudmu itu tho. Wah kamu ngerjain aku ya?” ujarku sambil memukul bahunya dengan cukup keras sehingga dia sampai mengaduh. ”Ampun Om ... maksudku memang begitu. Berontaknya memang betulan, cuma tadi memang agak kuolah sedikit sehingga bisa ngerjain si Om yang baru pulang,” jawabnya sambil ketawa. ”Habis aku jengkel, marah, capek, selama dua bulan ini, sudah berapa komputer saja yang harus kuperbaiki gara-gara sistem operasinya suka hang. Sudah software-nya disembah-sembah, dalamnya kropos. Belum lagi bisnis warnet juga terancam kena sweeping, gara-gara tidak mampu beli ijin software untuk bisnis,” ujarnya menjelaskan. ”Wah kalau itu yang aman ya memang harus pakai dukungan para pemberontak lainnya. Baik dari dalam maupun luar negeri. Kalau urusan ini, aku sudah lama makar Jon. Lihat saja di rumah, komputerku sudah pakai software yang opensource. Aku pakai Linux sejak tiga tahun lalu Jon!” jelasku sambil terkekeh sambil mengawasi Jono yang melongo merasa ketinggalan jaman. <> Karangasem, 050619 Riza

1 komentar:

WURYANANO mengatakan...

Wah...Mas Riza ini memang pinter banget bikin cerita ya.
Seneng baca cerita ringan menyegarkan seperti ini, tapi sekaligus juga "provokatif"..hehe..

Anda ini pinter IT ya. Enak kalau sudah paham IT. Kalau saya masih "gaptek" lho...hoho..

Ok, selamat datang di milis Super Mind Power, Mas Riza. Ditunggu tulisannya yang menuegarkan dan mencerahkan seperti di beberapa blog Anda ini...hebat, bagus...

Sukses selalu,
Wuryanano
http://wuryanano.com/